RNews - Isu BBM kembali mencuat akhir-akhir ini di publik mulai dari kebijakan pembatasan pendistribusian BBM bersubsidi jenis solar, lalu disusul dengan kekhawatiran akan habisnya kuota yang sudah disiapkan selama setahun, hingga kini yang terbaru adalah isu kenaikan harga BBM yang katanya membebani APBN.
Bisnis minyak memang menjadi lahan basah yang banyak diperebutkan oleh banyak pihak tak terkecuali para pemangku jabatan di pemerintahan. Jadi tidak heran jika pertamina selalu buntung dalam menjalankan bisnis jual beli minyak. Tapi sebaliknya keuntunganya justru leluasa dinikmati oleh pribadi mulai dari kalangan pejabat pemerintahan, pengusaha hingga para mafia yang menjebolkan deal di arena transaksi.
Mengacu pada surat edaran Kepala BPH Migas No.937/07/KaBPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, diberlakukan penutupan distribusi serta penjualan solar bersubsidi dimulai sejak 1 Agustus 2014. Kebijakan tersebut awalnya hanya berlaku untuk SPBU Pertamina kisaran daerah Jakarta Pusat saja. Alasannya adalah kuota subsidi BBM yang awalanya 48 juta kiloliter kini hanya 46 juta kilo liter. Untuk itu peredarannya sudah tidak diperkenankan jika melebihi kuota yang sudah dibatasi. Kebijakan tersebut akhirnya akan juga dijalankan tidak hanya Jakarta Pusat saja yang diberlakukan penutupan BBM bersubsidi, bahkan akan segera diberlakukan revisi kuota BBM bersubsidi pada berbagai Kabupaten/Kota besar lainnya.
BPH Migas merupakan lembaga lain yang sejajar disamping SKK Migas. Tetapi bentuk organisasi dan cara kerjanya tak ubahnya BP Migas yang dulu telah dibubarkan oleh MK. Dengan kata lain keberadaan BPH Migas bersama SKK Migas ini (Nama baru BP Migas) sebenarnya bermasalah hukum. Sebab tidak terlihat komitmen dari BPH Migas dan SKK Migas untuk mengembalikan kedaulatan negara untuk secara langsung menguasai sumber daya alam bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Padahal saat BP Migas dibubarkan oleh MK, tertanam wacana jika BPH Migas bisa mengambil alih peran BP Migas yang akhirnya berubah dengan nama lain SKK Migas. Ternyata, kembali rakyat dan pemerintah ditipu mentah-mentah oleh lembaga-lembaga yang sedemikian tersebut.
Sungguh kuasa betul seorang kepala BPH Migas bisa membuat sebuah perintah dalam bentuk surat edaran tanpa persetujuan Menteri ESDM yang kemungkinan besar menyebabkan inflasi dan perekonomian nasional menjadi terganggu. Jika budaya "pelangkahan" birokrasi tersebut menjadi maklum, maka akan berdampak sangat negatif terhadap perekonomian Indonesia seterusnya. Atau mungkin, Menteri ESDM cenderung tidak mengurusi atau bahkan tidak campur tangan perihal pembuatan hingga beredarnya surat edaran dari BPH Migas tersebut. Sebab secara teori, jika ada penyesuaian kenaikan harga BBM bersubsidi, maka dengan sendirinya akan berdampak pada peningkatan berbagai harga kebutuhan hidup yang akhirnya beban biaya hidup masyarakat juga ikut meningkat.
Penghapusan solar dan premium bersubsidi akan berdampak luas terhadap semua kenaikan biaya transportasi. Sangat mungkin kenaikan transportasi serta biaya angkutan barang akan mencapai 70% hingga 80%, atau bahkan lebih. Jika berlaku dalam skala Nasional, betapa mahalnya biaya transportasi serta biaya angkutan barang dari satu daerah ke daerah lain. Sementara tingkat pendapatan perkapita masyarakat segitu-gitu saja atau bahkan berkurang. Dampak lainnya adalah mahalnya biaya hidup masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan, sehingga masyarakat miskin yang dimiskinkan oleh Pemerintah akan lebih bertambah.
Pertamina memang jagonya dan paling bisa mempersulit konsumen BBM. Terlebih saat mengusulkan kenaikan harga BBM. Kasihan betul para pemilik kendaraan, masih harus melunasi kreditan kendaraan, bermacet ria akibat bobroknya infrastruktur, dan kini masih harus mengantre untuk mendapatkan haknya dengan membeli BBM tersebut. Bukan dengan jalan gratis. Penutupan distribusi penjualan solar bersubsidi di sepanjang jalan tol dan Jakarta Pusat, pun sebenarnya tidak akan mensolusi secara signifikan terhadap membengkaknya kuota 46 juta Kiloliter.
Cara pembelian BBM impor yang penuh dengan tanda tanya dan Pemerintah bersama Pertamina belum pernah terbuka secara transparan bahkan kepada anggota DPR-RI sekalipun. Apakah pembelian melalui broker dilakukan secara tender atau penunjukan ? Lalu berdampak kepada permainan harga untuk pengadaan crude oil, premium, solar dan avtur, hingga mahalnya biaya sewa kapal dan transportasi? Un-efisiensi pembelian BBM impor ini bisa mencapai pada kisaran Rp. 4 Triliun per tahun.
Pembelian BBM impor melalui anak perusahaan Pertamina Petral Ltd. (Pertamina Energy Trading Ltd. ) yang bermarkas di Singapura yang merupakan perusahaan andalan Pertamina sebagai anak perusahaan yang katanya ahli dalam bisnis trading minyak mentah dan produk BBM yang terjadi di pasar global. Cara pembelian inilah yang menyebabkan mahalnya BBM yang dikonsumsi di Indonesia. Bagaimana mungkin tender pembelian BBM impor untuk kebutuhan Indonesia dilakukan di Singapura yang katanya melibatkan 50 perusahaan importir (tender seperti apa itu ?). Selanjutnya apakah Petral Ltd. yang katanya anak perusahaan Pertamina bisa menguntungkan Indonesia dan bagaimana tingkat keterbukaan bisnisnya bisa dimonotoring dan diketahui banyak orang di Indonesia. Semua masih dalam tanda tanya. Mengapa Pertamina dalam membeli BBM dan Minyak mentah tidak langsung saja ke negara produsen yang bersangkutan ? (G to G). Mengapa harus melalui perusahaan calo seperti Petral Ltd?
Sangat di sayangkan dari adanya rencana pembubaran Petral Ltd. oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan bisa digagalkan dan betapa kuatnya mafia migas tersebut, malah sang Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menegaskan PT. Petral Ltd. akan tetap beroperasi secara normal sebagai satu-satunya anak perusahaan yang melaksanakan kegiatan trading PT Pertamina. Selama ini, PT Pertamina mendapatkan fee trading pada kisaran sebesar US $ 0,10 s/d US $ 0,12 per barel. Lalu PT. Petral Ltd. mendapatkan fee trading antara US $ 3 s/d US $ 4,5 per barel bahkan bisa lebih besar lagi. Calo PT.Petral dalam jaringan usahanya memiliki rekanan pemasok BBM sebanyak 55 rekanan trader diantaranya seperti ExxonMobil, Chevron, ConocoPhillips, Glencore, Vitol, Repsol, Mitsui, Itochu, Shell, BP, Petrobras, PTT Thailand dan Verita Oil. Ada apa dengan perusahaan calo seperti ini ? Lalu ada apa di PT. Pertamina serta Pemerintah ?
Cara mempersulit konsumen BBM oleh BPH Migas serta rencana kenaikan harga BBM kali ini adalah merupakan bagian dari tekanan pihak asing (liberalisasi ekonomi dan energi) yang sudah lama menunggu di Indonesia agar BBM konsumsi masyarakat disamakan dengan harga Internasional dengan teganya Pemerintah mengorbankan rakyat Indonesia sendiri. Seharusnya ada upaya kuat pemerintah untuk menggunakan Gas atau BBG untuk masyarakat serta program Etanol sehingga BBM fosil lambat laun bisa ditinggalkan. Disamping itu, merupakan bukti nyata kegagalan dari Pemerintah me-manajemen energi Nasional kearah efisiensi serta kemandirian energi Nasional yang berjangka panjang.
(Fahmi 99)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !