RealitasNews - Pada tahun 1970, Prabowo mendaftarkan diri ke Akmil.Kehidupan di sana jauh beda dari kenyamanan yang telah dikenalnya. Ia merasa bawa para seniornya berlaku lebih keras kepadanya dan anak-anak
elite lainya. Ketika pangkatnya diturunkan karena pelanggaran disiplin, ibunya mengatakan kepadanya ia boleh meninggalkan akademi itu kalau mau, ia menolak. Kata saya: “Tidak, saya senang pada Angkatan Darat. Apa pun yang
terjadi, saya akan tetap di Angkatan Darat.”
Keputusan itu ternyata mempunyai konsekuensi penting. Angkatan Darat
memper-temukannya dengan keluarga presiden. Komandannya dalam
pasukan khusus pada awal-awal 1980, adalah ipar Soeharto. Minat keluarga
presiden tergugah oleh perwira muda yang berasal dari keluarga terhormat itu
dan ia dijodohkan dengan putri kedua Soeharto. Siti Hediati Harijadi (Titiek).
Pasangan itu menikah tanggal 8 Mei 1983.
Prabowo tak dapat mengatakan dengan tepat kapan bisik-bisik mulai
terdengar setelah itu, tetapi ia tahu isinya. Bahwa ia kesayangan Soeharto.
Bahwa perjalanan kariernya telah dibuat lancar melalui promosi. Bahwa ia
mendapat perintah-perintah langsung dari presiden dengan melampaui
lapisan-lapisan perwira yang lebih senior.
Bahwa ia menikmati kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Soeharto maupun bisnis keluarganya sendiri. Prabowo berpendapat bahwa ketidaksenangan itu bukan semata-mata karena hubungannya. Melainkan karena, menantu atau bukan, ia sedang menjalan-
kan suatu visi kemiliteran yang berlawanan dengan apa yang diharapkan oleh
pimpinan-nya. “Saya menghendaki kualitas tinggi. Saya menghendaki
profesionalisme. Saya meng-hendaki disiplin,” katanya. “Tetapi banyak di
antara jenderal yang masa bodoh. Mereka mengatakan saya datang dari
keluarga kaya. Tetapi mereka lebih feodal.”
Sebagai pemimpin latihan Kopassus, Prabowo merasionalisasi latihan-
latihan, mem-bersihkan manajemennya dan bahkan perwira-perwiranya
dilarang bermain golf, per-mainan yang digemari para jenderal. Pada tahun
1995 ia menjadi wakil komandan Kopassus, ia dinaikkan menjadi komandan
tahun berikutnya. Kopassus dengan cepat mencapai reputasi sebagai salah
satu cabang militer yang terlatih paling baik -dan punya dana terbaik.
Prabowo mengakui bahwa ia memperoleh uang dari kontak-kontak bisnis di
luar militer. “Bukan saya saja yang melakukan begitu,” katanya membantah.
“Banyak perwira melakukannya. Saya terpaksa melakukan begitu. Budget
kami tidak pernah cukup.”
Prabowo juga menyarankan -dengan hati-hati- agar keluarga presiden
merangkul perubahan. Selama bertahun-tahun, ia mencoba memperingatkan
ketidaksenangan publik yang semakin besar terhadap pemerintahan Soeharto
yang otoriter dan korupsi, terutama di kalangan ipar-iparnya. Istrinya pun ikut-
ikutan mengembangkan kepentingan-kepen-tingan usahanya. Kata Prabowo,
ia berusaha mencegah istrinya tetapi percuma.
“Lambat laun saya menjadi dongkol,” katanya. “Ia (Soeharto) terlalu percaya diri. Pada pendapat-nya tidak diperlukan perbaikan pada sistem pemerintahan.” Jadi disamping perselisihan-perselisihannya dengan jenderal-jenderal Soeharto, Prabowo juga
meningkatkan ketegangannya dengan anak-anak Soeharto. Katanya: “Pada
akhirnya saya sadar bahwa semua senyuman mereka hanyalah kedok semata.
Mereka mengatakan sesuatu kepada saya dan melakukan yang lain di
belakang saya.”
Namun Prabowo tetap loyal pada Soeharto. “Saya sudah telanjur sebagai
seorang samurai,” katanya. “Seorang samurai tidak meninggalkan yang
dipertuannya.” Kesetiaan Prabowo boleh jadi menjadi kunci mengapa Soeharto
mentolerir dia. Selama Prabowo tetap loyal, semua tingkahnya, obsesinya, ide-
idenya untuk mengadakan reformasi, kecaman-kecamannya, kedekatannya
dengan lawan-lawan Orde Baru -akan dapat dijadikan aset. “Ada satu hal
engenai Pak Harto,” kata purnawirawan jenderal Hasnan Habib, “ia
mengenali orang melalui intuisinya.”
Pergesekan-pergesekannya yang terus menerus dengan atasannya
barangkali mem-percepat kejatuhannya. Mantan jurubicara TNI Mayjen
Sudrajat teringat ketika ia bermalam-malam hingga larut berdiskusi tentang
reformasi militer dengan Prabowo. “Ide-idenya sangat cemerlang,” kenang
Sudrajat. “Tetapi ia terlalu kurang sabar. Ia tak mau menunggu hingga sistem
itu sendirilah yang mengadakan reformasi. Ia mengadakan jalan-jalan pintas
yang menyinggung perasaan atasan-atasannya.
” Prabowo mengakui kesalahannya: “Waktu itu saya berpikir, hasil-hasil reformasi itu pada akhirnya akan meluas. Saya tidak banyak memikirkan bagaimana harusnya
menyenangkan hati orang. Saya pikir, reputasi saya, performa saya sudah
cukup.”
Prabowo dengan naifnya mengira bahwa memenangi permainan politik
hanyalah soal keunggulan dirinya sendiri. Ketulus-ikhlasan yang keras kepala
ini menopangnya dalam kenaikannya dan perjuangan-perjuangannya dalam
lingkungan sistemnya Soeharto dan memberinya kharisma. Tetapi itu jugalah
yang membuatnya mudah dimanipulasi dan berkhayal. Pada akhirnya, ia yakin
bahwa Orde Baru yang otoriter itu perlu dipertahan-kan. Barangkali pada
waktu itu ia tidak punya pilihan lain lagi. Sebagai jenderal dan menantunya
Soeharto, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Orde Baru itu.
Sangidealis yang berencana mencapai puncak telah terperosok terlalu dalam.
“Saya tetap berharap agar Soeharto boleh jadi pada akhirnya akan
mengadakan reformasi atau menyerahkan kendali kepada seseorang yang
mau melakukannya,” katanya. Itulah senantiasa harapan saya: reformasi dari
dalam, reformasi dari atas. Tetapi ketika sistemnya menjadi begitu tersumbat,
itu tidak dapat dilakukan. Mungkin itulah salah satu dari antara kegagalan-
kegagalan saya –yang pada waktu itu tidak dapat saya lihat.” (Asiaweek)




0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !