RealitasNews - Hampir 30 tahun yang lampau, ketika masih seorang taruna. Prabowo menulis kepada seorang sahabat akrabnya tentang perjuangan meraih kekuasaan. “Sebab dengan memperoleh kekuasaan,” tulisnya menjelaskan, “kita dapat berbuat baik.” Bahwa Prabowo itu ambisius, itu bukan rahasia lagi. Sebagian besar orang Indonesia percaya bahwa nafsu meraih kekuasaan inilah yang mendorongnya masuk militer, menikah dengan putri presiden dan kemudian di bulan Mei 1998 merakit suatu komplotan untuk melawan musuh-musuhnya.
Akan tetapi, mengapa Prabowo menginginkan kekuasaan? Boleh jadi
jawabannya adalah ungkapan kisahnya yang paling mengherankan. Mungkin
ia adalah seorang pengatur siasat yang tidak sehebat seseorang yang
menjawab pertanyaan yang diajukan semua idealis muda kepada diri sendiri:
Apakah kita bekerja di dalam atau di luar sistem yang kita ingin ubah?
Prabowo menentukan pilihannya dan berpegang pada keputusan itu. Hidupnya
sejak itu adalah konsekuensi dari keputusan tersebut.
Kenangan diri Prabowo adalah ketika kakeknya membawanya ziarah ke
makam dua orang pamannya yang gugur dalam perjuangan melawan kolonial.
Ia diberi nama pamannya yang lebih tua: Subianto. “Kakek menanamkan ke
dalam diri saya nilai-nilai ksatria prajurit dan patriotisme,” katanya.
Prabowo melihat nilai-nilai ini diuji ketika ayahnya seorang ekonom
terhormat terpaksa keluar dari Indonesia gara-gara ulah pemerintah presiden
Indonesia pertama, Soekarno. Sumitro Djojohadikusumo melarikan diri dari
Indonesia pada tahun 1958, yang menjadi masa pengasingannya selama 10
tahun. Keluarga itu terus menerus berpindah-pindah yang akhirnya berakhir di
Eropa. Di sanalah nasionalisme Prabowo tumbuh, sebagaimana halnya juga
kekagumannya pada ide-ide Barat.
Pada tahun 1965, Indonesia melihat naiknya seorang jenderal muda
bernama Soeharto menyusul kudeta komunis yang gagal, Prabowo pada waktu
itu sudah diterima di sebuah perguruan tinggi Amerika, ketika ia memohon
kepada ayahnya agar dibolehkan kembali ke Indonesia. “Banyak peristiwa
sedang terjadi.”
Prabowo pulang ke tanah airnya tahun 1968 dan langsung menceburkan
diri ke dalam situasi yang sedang bergejolak. Ketika Soeharto menggantikan
Soekarno, mulailah terjadi perdebatan di kalangan mahasiswa: Apakah mereka
bekerja sama dengan rezim militer yang sedang muncul ataukah tetap di luar
sambil berusaha mengawasinya? Banyak di antara tokoh-tokoh politik dan
bisnis yang menjadi makmur selama pemerintahan Soeharto, memilih kerja
sama. Sebagian besar teman-teman memilih tinggal di luar.
Tetapi keterpesonaan Prabowo pada militer yang ditanamkan oleh
kakeknya sangat mendalam dalam dirinya. “Saya katakan kepada teman-
teman saya sedang memikirkan masuk jadi militer,” kata Prabowo
mengenang. “Mereka menengok kepada saya: Anda serius? Saya jelaskan:
Militer itu sangat penting. Seharusnya beberapa di antara kita harus berada di
dalam militer. Saudara-saudara jadilah teknokrat. Pada suatu hari kita akan
berjumpa dan ambil bagian dalam memodernkan negeri kita.” Beberapa
teman bersikap mendukung, lainnya tidak.
“Salah seorang di antara mereka
“Salah seorang di antara mereka
berkata: Prabowo nanti Anda akan diindoktrinasi. Anda akan menjadi seorang
fasis. Kata saya: Tidak, kita harus melakukan modernisasi dari dalam. Kita
harus melaksanakan reformasi dari dalam.”




0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !