RealitasNews - Bank BCA berdiri 21 Februari 1957 dengan nama Bank Central Asia NV. Mayoritas saham dimiliki oleh Salim Group. Pada 1997, bank ini terkena imbas krisis moneter. Krisis ini membawa dampak yang luar biasa pada keseluruhan sistem perbankan nasional, bukan hanya Bank BCA. Selain karena rush, ternyata juga karena banyak kredit dari Bank BCA ke Salim Group yang macet.
Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie dalam akun FB-nya mencatat, saat terjadinya krisis moneter 1997 Bank BCA menerima BLBI – untuk meredam rush –sebesar Rp32 triliun. Dari jumlah itu yang dibayarkan oleh BCA ke BI adalah cicilan pokok Rp8 triliun. Sehingga jumlah sisa utang BLBI BCA sebesar Rp23,99 triliun atau equvalen dengan 92,8% saham Bank BCA.
Pemerintah kemudian menyita 92,8% saham BCA sebagai pelunasan utang BLBI dari Salim Group. Dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah dan hutang BLBI Salim Group lunas.
Hutang BLBI sebesar Rp23,99 triliun lunas. Tapi, pada bagian lain, Salim Group masih memiliki hutang ke Bank BCA sebesar Rp52,7 triliun. Hutang ini merupakan kredit macet dari Bak BCA yang disalurkan kepada sejumlah usaha Salim Group. Artinya Salim Group masih punya hutang Rp52,7 triliun kepada Bank BCA dimana saham Bank BCA sudah dimiliki pemerintah 92,8%. Artinya hutang Salim Group Rp52,7 triliun itu merupakan hutang ke pemerintah sebagai pemilik 92,8% Bank BCA.
Pemerintah lantas menagihnya kepada Grup Salim. Namun konglomerat ini tidak memiliki uang tunai. Sehingga dibayarlah dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui kontrak hukum bernama Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) besarannya: hanya uang tunai Rp100 miliar dan sebanyak 108 perusahaan milik Grup Salim. Pemerintah sepenuhnya yang menentukan bahwa dengan uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan itu nilainya sama dengan hutang Grup Salim sebesar Rp52,7 triliun.
Bahkan, ironisnya, pemerintah melalui jasa penilai Lehman Brothers, mengklaim bahwa 108 perusahaan dan uang tunai Rp100 miliar itu nilainya sama dengan Rp53,304 triliun, atau ada kelebihan pembayaran sebesar Rp204 miliar. Namun pemerintah saat itu tidak menggubris klaim Lehman Brothers.
Anehnya, penilaian Lehman Brothers yang dibantu oleh PT Bahana dan PT Danareksa sebesar Rp53,304 triliun itu, saat 108 perusahaan eks Grup Salim itu akan dijual oleh BPPN dengan menggunakan jasa penilai Price Waterhouse Coopers (PWC) -, harga jual pantas ditetapkan hanya Rp20 triliun saja, dan angka dari PWC ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF (mandor perekonomian Indonesia). Dalam satu kasus Grup Salim ini saja pemerintah sudah tekor Rp32,7 triliun. Anehnya, lakunya 108 perusahaan itu sama dengan penilaian PWC yakni Rp20 triliun saja.
Karena pelunasan Rp53,304 triliun itu maka Grup Salim mendapatkan Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah. Mungkin Presiden Megawati berani memberikan R&D ini dikarenakan ada landasan UU No.25 TH 2000 tentang Propenas dan Putusan TAP MPR No. VIII/MPR/2000. Ketika kebijakan ini sempat digugat oleh LSM, ternyata Mahkamah Agung mengalahkan penggugat.
Anehnya lagi, hutang Grup Salim yang Rp52,7 triliun dibayar 108 perusahaan senilai Rp53,3 triliun dan dijual Rp20 triliun, pun Grup Salim masih dipuji-puji, karena angka penjualan Rp20 triliun sama dengan recovery rate 34 %. Sebab, dari obligor lainnya rata-rata hanya diperoleh 15 %. Lebih aneh lagi, para teknokrat dan ilmuwan ekonomi mengatakan recovery rate sebesar 34 % sangat idel. Bahkan 15% dinilai sudah sangat pantas.




0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !