RNews - Jika saja figur menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) tidak memiliki pemahaman, bahkan tak menaati taat hukum maka celaka Indonesia. Penempatan Yasonna Hamonangan Laoly sebagai menkumham, patut diduga bagian dari skenario menggembosi kewibawaan pemerintahan Presiden Jokowi.
“Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian dari gerakan kelompok tertentu yg tengah menjalankan skenario busuk menjatuhkan presiden di tengah jalan,” ujar anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo di Jakarta, Minggu (5/4).
Dia merasakan skenario terorganisir menjatuhkan integritas dan kredibilitas pemerintahan. Jokowi diserang lingkarannya sendiri. Serangan masif dan serentak dari empat penjuru.
Pertama, sisi ekonomi. Instabilitas ekonomi diciptakan melalui kenaikkan harga kebutuhan pokok rakyat, seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, beras, transportasi dan lain-lain. Harga bahan bakar minyak (BBM) berfluktuasi tak terkendali.
Kedua, sisi hukum. Gerakkan sistimatis melemahkan upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan pembiaran konflik antarlembaga penegak hukum.
Ketiga, kehidupan sosial. Ada gerakan terorganisir menciptakan rasa ketakutan dan ketidaknyaman masyarakat. Tindak kekerasan meningkat, dimulai dari fenomena begal motor maupun kriminal lainnya hingga terorisme ISIS.
Keempat, sisi politik. Menciptakan turbelensi politik di parlemen melalui pertikaian internal partai politik. Parpol dikondisikan terus gaduh sehingga tak bisa bekerja.
Instabilitas parlemen secara tak langsung merugikan pemerintah. Pembahasan program maupun perencanaan anggaran terlambat dibahas, tentunya berdampak pada keterlambatan implementasi.
“Harapan kelompok kejahatan ini melahirkan kebencian serta antipati parpol kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi,” diindikasikan Bambang, yang juga sekretaris Fraksi Golkar DPR.
Putusan Mengikat
Terkait peran Yasonna, Bambang melihat posisi menkumham sebagai eksekutor. Tugasnya menciptakan turbelensi politik. Contoh, ketika
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mememerintahkan penundaan SK Menkumham terkait kisruh Partai Golkar, namun Yasonna tak bergeming. “Tujuannya sangat jelas agar instabilitas politik tetap terjaga. Dan, Jokowi tidak bisa bekerja,” ujarnya.
Seperti diketahui, PTUN mengabulkan permohonan kubu Aburizal Bakrie (ARB) hingga ada keputusan berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pengabulan penundaan merupakan keadaan mendesak. Pasalnya, penundaan itu untuk mengindari sesuatu yang ditimbulkan yang tidak dapat dipulihkan kembali. Selain itu pengabulan gugatan untuk menghindari kerugian penggugat.
Dengan sendirinya, SK Menkumham tak berlaku efektif sejak diterbitkan (ex tunc). Kepengurusan DPP Golkar dikembalikan pada keadaan semula, sebelum SK diterbitkan.
Keputusan sela juga mengunci celah mengeluarkan kebijakan lainnya soal Golkar. Sebab, putusan itu mengikat sejak putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
“Pertanyaannya apakah SK pemberhentian tadi sah? Jawabnya sah. Namun SK tersebut belum berlaku sehingga tidak membawa akibat hukum apapun juga,” tandas Bambang. (Nezza-02)




0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !