Seperti cara heru lelono membantah saya lewat wawancara dengan Harian Rakyat Merdeka, 12 januari 2014, hal 2. Dengan cara yang meyakinkan Heru membantah Pak SBY intervensi./ kalau Pak SBY intervensi, berarti itu sama saja melecehkan KPK. Ini bahasa yang sering saya dengar di dalam bantahan-bantahan itu. Bahkan Heru tak segan-segan berbohong dengan mengaku pernah mengatakan kepada saya—disebutnya “sahabat saya Anas”—bahwa kebenaran ini suatu saat akan terungkap. Sebab kesalahan itu hanya sementara bisa disembunyikan.
Saya ingat betul dan yakin betul bahwa Heru tidak pernah mengatakan itu kepada saya. Apalagi terkait dengan kasus di KPK. Jangankan mengatakan pernah ketemu atau komunikasi saja tidak. Sejak saya di Demokrat, hanya beberapa kali saya bertemu Heru di Cikeas. Itupun tidak perna bicara serius, hanya menyapa dan ngobrol ringan. Sejak saya di DPR dan Pak SBY menjadi Presiden periode kedua, belum pernah saya komunikasi dengan yang bersangkutan. Bagaimana dia bisa menyampaikan pesan itu kepada saya, kecuali pesan imajiner? Atau, jangan-jangan, pesan itu sebenarnya untuk orang lain yang dekat dengan dia.
Menjelang tidur, saya sempat ngobrol agak panjang dengan Amir Ishak, petugas jaga yang baru dapat giliran malam. Asalnya dari Kebumen, Jawa Tengah. Orangnya enak, ramah dan cepat akrab.
“Sabar saja, Pak Anas. Nasib kita sama”, begitu nasehatnya.
Dia menjelaskan maksudnya sama-sama sepi, tak ada hiburan, tak ada tontonan. Bedanya, dia menjaga, saya diga. Sebagaimana petugas yang lain,jatah jam jaga adalah setengah hari alias 12 jam. Tugas Amir hari ini akan berakhir pagi nanti jam tujuh.
Saya sabar mendengarkan dia bercerita tentang sejarah politik dan kerajaan zaman dulu. Dengan fasih dia menjelaskan naik-turunnya kerajaan-kerajaan di Jawa, sejak Tumapel, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. Dating dan perginya raja-raja Jawa itu dia jelaskan dengan rinci mirip guru sejarah. Menarik karena wawasan sejarahnya cukup bagus. Saya hanya khusyuk mendengarkan sembari kasi komentar tambahan sedikit-sedikit.
Inti dari sejarah politik kerajaan-kerajaan Jawa dulu adalah politik “Bumi Hangus”. Setiap pemenang selalu menghancurkan yang dikalahkan. Kerajaan diluluhlantakkan dan yang dianggap berharga dibawa pergi oleh pemenang perang. Pusat kerajaan yang kalah diratakan dengan tanah sehingga yang tersisa tinggal kenangan. Jikapun ada hanya bekas-bekas reruntuhan atau situs yang tak lagi utuh. Politik bumi hangus dan dendam tak berkesudahan hamper menjadi model politik sampai Indonesia memasuki zaman modern. (Bersambung)




0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !